Beranda | Artikel
Hadis: Hukum Nikah Tahlil (Bag. 2)
2 hari lalu

Teks Hadis

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحِلَّ وَالمُحَلَّلَ لَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat muhalill (yaitu, suami kedua) dan muhallal lahu (yaitu, suami pertama).” (HR. Ahmad, 7: 314-315; An-Nasa’i, 6: 149; dan At-Tirmidzi no. 1120. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Juga terdapat hadis dari sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ المُحِلَّ وَالمُحَلَّلَ لَهُ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat muhalill (yaitu, suami kedua) dan muhallal lahu (yaitu, suami pertama).” (HR. Abu Dawud no. 2076, At-Tirmidzi no. 1119, dan Ibnu Majah no. 1935. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dalam nikah tahlil (bisa dimaknai dengan, ‘nikah untuk menghalalkan kembali’), suami kedua disebut dengan muhallil (yang menghalalkan). Suami kedua adalah laki-laki yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suami sebelumnya (suami pertama), agar wanita tersebut halal atau boleh dinikahi lagi oleh suami pertama setelah menyetubuhinya. Adapun suami pertama disebut sebagai muhallal lahu (yang dihalalkan).

Kandungan Hadis

Kandungan pertama

Kedua hadis tersebut menunjukkan haramnya nikah tahlil. Karena laknat hanya berlaku untuk perbuatan yang haram, dan adanya larangan itu menunjukkan hukum haram dan batalnya perbuatan yang dilarang. Perbuatan ini dianggap sebagai dosa besar, sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, dan lainnya [1].

Salah satu petunjuk tentang haramnya nikah tahlil adalah firman Allah Ta’ala,

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيرَ مُسَافِحِينَ

“Dan dihalalkan bagi kalian apa yang ada di luar itu, yaitu kalian mencari dengan harta kalian (untuk menikah) dengan cara yang sah, bukan dengan cara zina.” (QS. An-Nisa: 24)

Sisi pendalilan haramnya nikah tahlil berdasarkan ayat tersebut adalah karena nikah tahlil itu mirip dengan perbuatan zina, karena nikah tahlil itu tidak dimaksudkan untuk menjaga kesucian diri (dari zina), yaitu pernikahan dengan akad yang sah, melainkan hanya ingin melakukan hubungan seksual sekali, kemudian menceraikannya. Ini hanya sebagai akal-akalan agar wanita tersebut bisa segera kembali ke suami pertama. [2]

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nikah tahlil adalah haram dan batal (tidak sah), tidak menyebabkan halalnya (wanita tersebut kembali ke suami pertama, pent.).” [3]

Sehingga nikah tahlil tidak dapat menjadikan wanita tersebut halal bagi suami yang pertama karena tidak sahnya akad tersebut. Ada pertanyaan bahwa dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menyebutnya sebagai “al-muhallil” (yang menyebabkan halal). Jika memang tidak menyebabkan halal, maka seharusnya tidak dapat disebut sebagai “al-muhallil”. Jawabannya adalah bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut demikian karena pelakunya berniat untuk menghalalkan di tempat yang sebenarnya tidak bisa menyebabkan halal menurut syariat, bukan karena akad tersebut benar-benar bisa menyebabkan halal. Jika benar-benar “al-muhallil” (menurut hukum syariat), maka mereka tidak akan terkena laknat. [4]

Haramnya nikah tahlil juga didukung oleh perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

كنا نعد هذا في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم سفاحًا

“Kami menganggap hal ini (nikah tahlil) sebagai zina pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [5]

Yang menunjukkan kerusakan akad ini adalah seandainya orang yang melakukan nikah tahlil tersebut ingin terus bersama wanita tersebut setelah akad (mengurungkan niat nikah tahlil setelah akad nikah), maka tetap harus ada akad baru. Karena akad yang lalu adalah batal dan tidak boleh tinggal bersamanya, menurut pendapat mayoritas ulama [6]. Hal ini karena larangan tersebut menunjukkan haram dan tidak sahnya perbuatan yang dilarang. Dan jika akad itu sah, maka tidak ada makna (faedah) dari larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Contoh lain, jika sebelum akad, wanita tersebut mensyaratkan nikah tahlil (agar dia bisa kembali ke suami pertama yang telah menceraikannya tiga kali), lalu saat akad dia mengubah niat (syarat) tersebut dan berniat untuk benar-benar menikah, maka nikahnya sah dan syarat tersebut batal. Ada pendapat yang mengatakan bahwa nikah tersebut batal karena mengandung syarat yang merusak akad, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.

Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang celaan terhadap orang yang melakukan nikah tahlil dan disebut sebagai “unta pejantan yang dipinjam”, sebagaimana dalam hadis dari ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟

“Maukah aku beritahu kalian tentang “unta pejantan yang dipinjam”?”

Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,

هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

“Dia adalah muhallil. Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.[7]

Laki-laki tersebut disebut sebagai “unta pejantan yang dipinjam” karena dia dihadirkan untuk tujuan tertentu, yaitu untuk berhubungan seksual dan kemudian menceraikan wanita tersebut. Dia bukanlah suami yang memiliki tujuan seperti suami pada umumnya, melainkan hanya akan berhubungan seksual sekali dan kemudian pergi.

Kandungan kedua

Nikah tahlil itu tidak sah ketika syarat nikah tahlil itu disebutkan dalam akad, ini menurut ijmak (konsensus para ulama). Nikah tahlil juga tidak sah ketika suami kedua berniat nikah tahlil tanpa menyebutkannya dalam akad, menurut pendapat yang lebih kuat di kalangan ahli ilmu. Karena yang mempengaruhi hukum nikah tahlil yang dilarang adalah: 1) syarat tahlil yang disebutkan dalam akad nikah; atau 2) adanya niat untuk melakukan nikah tahlil dari suami kedua. Ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini dan sesuai dengan cakupan umum dari dalil larangan. Selain itu, karena nikah ini bersifat sementara atau mengandung syarat yang menghalangi kelanggengan rumah tangga. Nikah tahlil ini mirip dengan nikah mut’ah. Bahkan, Ibnul Qayyim rahimahullah mengutip dari gurunya, Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa nikah mut’ah itu lebih baik daripada nikah tahlil dari sepuluh sisi. [8]

Sedangkan yang membatasi haramnya nikah tahlil hanya pada kasus jika disyaratkan dalam akad, dan jika hanya berniat nikah tahlil, maka tidak termasuk dalam larangan [9], karena tidak ada syarat yang merusak akad nikah. Maka, masalah ini mirip dengan jika dia menikah dengan niat untuk menceraikannya [10], karena suatu akad hanya menjadi batal oleh syarat yang ditetapkan ketika akad, bukan oleh niat pelaku akad. Pendapat ini ditolak dengan tiga alasan:

Pertama: karena ini adalah pengecualian terhadap dalil tanpa dasar yang jelas.

Kedua: karena suami kedua berniat untuk menghalalkan, dan orang yang berniat untuk menghalalkan serta sepakat untuk itu tidak keluar dari istilah “al-muhallil.”

Ketiga: karena niat dalam akad itu tetap dianggap, dan amalan itu tergantung pada niatnya.

Sehingga kesimpulannya, nikah tahlil itu terlarang dan akadnya batal, baik jika disebutkan secara jelas dalam akad nikah, maupun hanya diniatkan dalam hati oleh pelaku akad (suami kedua).

Kandungan ketiga

Pengaruh hukum dalam nikah tahlil itu bergantung pada adanya niat dari suami kedua. Jika dia berniat untuk nikah tahlil, maka dia adalah “al-muhallil” dan berhak untuk mendapatkan laknat. Suami sebelumnya yang menceraikan wanita tersebut (suami pertama) juga berhak mendapatkan laknat jika wanita tersebut kembali kepadanya dengan nikah yang batal ini. Hal ini karena wanita tersebut tidak halal baginya.

Namun, jika suami kedua dan suami pertama tidak mengetahui niat di hati wanita atau walinya untuk melakukan nikah tahlil, maka hal itu tidak merusak akad. Hal ini karena urusan menceraikan atau tidak menceraikan wanita tersebut tidak bersumber dari niat suami kedua atau pertama. [11]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui adanya niat dari mantan istri Rifa’ah bahwa dia ingin kembali kepada suaminya yang pertama (yaitu Rifa’ah) dengan menggugat cerai suami kedua. Akan tetapi, hal ini tidak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jadikan sebagai penghalang untuk kembali kepada Rifa’ah. Yang menghalangi adalah karena istri Rifa’ah tidak melakukan hubungan seksual dengan suami kedua, sebagaimana telah disebutkan di seri sebelumnya.

Beberapa ulama salaf, seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, dan lainnya rahimahumullah, mengatakan bahwa jika salah satu dari tiga pihak -suami pertama, wanita, atau suami kedua- berniat untuk nikah tahlil, maka akad tersebut menjadi rusak (tidak sah). Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,

كان الحسن وإبراهيم والتابعون يشددون في ذلك

“Al-Hasan, Ibrahim, dan para tabi’in sangat ketat dalam hal ini.” [12]

Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa yang menjadi ukuran adalah niat suami kedua, karena dia adalah orang yang melakukan tahlil dan memiliki kekuasaan atas akad nikah. Tanpa dia, nikah tahlil tidak akan terjadi. Meskipun wanita dan suami pertama juga termasuk dalam larangan terkait dosa dan celaan jika mereka sepakat dengan suami kedua, karena hal ini terkait dengan persetujuan terhadap perbuatan mungkar. Namun, yang dijadikan sebagai patokan hukum adalah khusus untuk suami kedua yang melakukan tahlil. Wallahu Ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. [13]

[Selesai]

***

@3 Rabiul awal 1446/ 7 September 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Al-Kabair, hal. 103 dan I’lamul Muwaqi’in, 4: 402.

[2] At-Tafsir wa Ushuuluhu, 2: 121.

[3] Al-Fataawa Al-Kubra, 3: 100.

[4] Al-Mughni, 10: 54.

[5] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, 7: 137; Al-Hakim, 2: 199; Al-Baihaqi, 7: 208.

[6] Al-Fataawa Al-Kubra, 3: 101.

[7] HR. Ibnu Majah no. 1936; Ad-Daruquthni, 3: 231; Al-Hakim, 2: 198; dan Al-Baihaqi, 7: 208. Dinilai hasan oleh Al-Albani.

[8] Ighatsatul Lahfan, 1: 277 dan Al-Mughni, 10: 51.

[9] Al-Mughni, 10: 49.

[10] Dalam fikih nikah, terdapat istilah, “Nikah dengan niat talak.” Yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan niat akan menceraikannya setelah jangka waktu tertentu. Niat suami tersebut tidak diucapkan atau disebutkan ketika akad nikah, sehingga pihak wanita dan walinya tidak mengetahui adanya niat tersebut, berbeda dengan nikah mut’ah. Para ulama berbeda pendapat tentang nikah semacam ini, sah ataukah tidak. Pendapat pertama mengatakan sah, karena niat tersebut tidak diucapkan ketika akad, sehingga tidak mempengaruhi keabsahan akad. Alasan lainnya, karena bisa jadi suami mengurungkan niatnya dan tidak jadi menceraikan istrinya sebagaimana niatnya ketika akad. Pendapat kedua mengatakan bahwa akad tersebut tidak sah. Hal ini karena apa yang diniatkan itu sama dengan apa yang disyaratkan, juga karena dalam nikah semacam itu terdapat unsur penipuan kepada istri dan keluarganya. Jika istri dan wali mengetahui niat tersebut, tentu mereka tidak mau melakukan akad nikah semacam itu. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Wallahu Ta’ala a’lam.

[11] Al-Mughni, 10: 53.

[12] Al-Mughni, 10: 53.

[13] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 265-270). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.


Artikel asli: https://muslim.or.id/97762-hadis-hukum-nikah-tahlil-bag-2.html